Jika Nasi Uduk adalah denyut nadi jalanan Batavia, dan Ketupat adalah simbol kesucian Idul Fitri, maka Tumpeng adalah Pura atau Candi. Ia adalah wujud doa, sebuah persembahan agung yang menceritakan seluruh filosofi hidup Jawa kuno dalam satu piring.
Kisah Tumpeng adalah kisah tentang gunung, dewa, raja, dan sebuah panduan moral.
Bab 1: Mitos Awal – Replika Gunung Para Dewa
Kisah Tumpeng dimulai jauh sebelum era kerajaan Islam, di masa ketika masyarakat Jawa kuno masih memegang teguh kepercayaan animisme, dinamisme, serta Hindu-Buddha.
Bagi mereka, tempat yang paling sakral di bumi adalah Gunung.
Gunung (seperti Semeru atau Mahameru dalam mitologi Hindu) dipercaya sebagai axis mundi (poros dunia), tempat bersemayamnya para Hyang (dewa) dan roh leluhur. Gunung adalah sumber kehidupan (mata air) dan tempat untuk berdoa.
-
Fakta: Karena tidak semua orang bisa mendaki gunung untuk berdoa atau memberi persembahan, dicarilah cara untuk “membawa” gunung itu ke dalam rumah.
-
Mitos Lahir: Lahirlah Tumpeng. Bentuknya yang kerucut adalah replika miniatur dari gunung suci. Dengan menyajikan Tumpeng, masyarakat kuno merasa sedang menghadirkan kesakralan gunung dan para dewa ke tengah-tengah mereka.
Bab 2: Makanan Sakral Para Raja (Jejak Sejarah Kerajaan)
Tradisi ini mengakar kuat dan diadopsi secara penuh oleh kerajaan-kerajaan besar di Jawa (Hindu-Buddha hingga Mataram Islam). Tumpeng menjadi makanan wajib keraton (istana).
Ini bukanlah makanan sehari-hari. Tumpeng adalah hidangan untuk Selametan atau Kenduri—sebuah ritual syukuran.
-
Tumpeng dibuat saat seorang Raja naik tahta.
-
Tumpeng dibuat saat merayakan panen raya (sebagai persembahan syukur).
-
Tumpeng dibuat saat meresmikan sebuah bangunan suci atau istana baru.
-
Tumpeng dibuat untuk ruwatan (tolak bala) agar kerajaan terhindar dari bencana.
Tumpeng adalah makanan favorit untuk “bersyukur”. Ia adalah hidangan yang menghubungkan antara Kawula (rakyat/hamba) dengan Gusti (Raja atau Tuhan).
Bab 3: Filosofi ‘Kode Moral’ di Balik Namanya
Seperti Ketupat, nama “Tumpeng” bukanlah sekadar nama. Ia adalah sebuah jarwo dhosok (akronim) yang menyimpan panduan moral hidup.
“Tumpeng” diyakini sebagai singkatan dari ‘Yen Metu Kudu Lempeng’.
Artinya: “Jika keluar (dari mulut) harus lurus.” Ini adalah filosofi tentang kejujuran, integritas, dan niat yang lurus. Versi lain menyebutnya ‘Metu Dalan sing Lempeng’ (keluar melalui jalan yang lurus), sebuah doa agar kita selalu diberi petunjuk di jalan yang benar.
Oleh karena itu, Tumpeng adalah inti dari selametan—sebuah doa agar hidup kita lurus, benar, dan selamat.
Bab 4: Fakta Ajaib – ‘Pitulungan’ dalam Lauk Pauk
Bagian paling menakjubkan dari Tumpeng adalah lauk-pauknya. Lauknya tidak acak. Secara tradisional, lauk Tumpeng berjumlah 7 macam.
Mengapa tujuh? Dalam bahasa Jawa, tujuh adalah Pitu, yang dihubungkan dengan kata ‘Pitulungan’ (Pertolongan).
Setiap lauk dari 7 macam itu adalah simbol:
-
Ayam Ingkung: Lauk utama. Ayam utuh yang dimasak bumbu kuning/opor. Posisi ayam ingkung adalah seperti bersujud (menyembah). Ini adalah simbol dari manembah (menyembah) kepada Sang Pencipta dengan khusyuk.
-
Ikan (Lele atau Teri): Ikan melambangkan kehidupan di air (dunia bawah) dan ketangguhan. Ikan teri secara khusus melambangkan kerukunan, karena mereka selalu hidup bergerombol.
-
Telur Rebus Pindang: Telur adalah simbol universal dari bibit atau awal kehidupan baru.
-
Sayur Urap (Gudhangan): Campuran berbagai sayuran (kangkung, bayam, tauge, kacang panjang) yang urip (hidup) atau tumbuh. Ini melambangkan kehidupan yang rukun, tumbuh, dan harmonis.
-
Perkedel: Terbuat dari kentang/singkong (umbi-umbian yang tumbuh di dalam tanah), melambangkan hasil bumi.
-
Kering Tempe/Kacang: Simbol dari kerja keras dan rezeki yang awet.
-
Cabe Merah (di Puncak): Seringkali ditaruh di puncak tumpeng, melambangkan api atau cahaya (pencerahan) yang datang dari Tuhan di puncak gunung.
Bab 5: Ritual Memotong Tumpeng (Fakta)
Ada mitos modern yang keliru bahwa tumpeng dipotong horizontal seperti kue.
Ritual tradisional memotong tumpeng bukan dipotong puncaknya. Memotong puncak (gunung) dianggap kualat atau merusak hubungan antara manusia dan Tuhan.
Cara yang benar (disebut pengerukan) adalah mengeruk dari samping bawah ke atas, atau membelahnya secara vertikal. Orang yang paling dihormati dalam acara (misalnya yang berulang tahun atau pimpinan) akan mengambil nasi dan lauk pauk dari bagian tumpeng (atau puncak yang sudah “disahkan”) dan memberikannya kepada orang yang paling dituakan atau dihormati sebagai tanda bakti.
Penutup: Makanan yang Menjadi Doa
Kisah Tumpeng adalah kisah yang paling utuh dalam kuliner Indonesia. Ia adalah mitos kuno tentang dewa di gunung, pusaka sakral para raja, panduan moral (metu lempeng), dan ensiklopedia simbol (pitulungan 7 lauk).
Tumpeng adalah doa yang dirangkai dalam nasi dan lauk, sebuah monumen syukur yang bisa kita rasakan.