Di antara ribuan kuliner Nusantara, ada satu hidangan yang menantang semua konsep kita tentang “makanan pokok”. Ia bukan nasi, bukan roti, bukan umbi. Ia adalah sebuah substansi lembut, transparan, dan lengket seperti lem, yang disajikan dalam mangkuk besar.

Itulah Papeda. Ia adalah makanan paling esensial dari Indonesia bagian Timur (Papua dan Maluku). Kisahnya adalah kisah tentang asal-usul, tentang hutan sebagai ibu, dan tentang filosofi hidup yang paling murni.

Bab 1: Mitos Kelahiran – Sagu, Sang Penjelmaan yang Suci

Kisah Papeda adalah kisah tentang Pohon Sagu (Pohon Rumbia). Jauh sebelum nasi dikenal di kepulauan ini, sagu adalah sumber kehidupan.

Bagi masyarakat Papua dan Maluku kuno, pohon sagu bukanlah sekadar tanaman. Ia adalah entitas suci.

  • Mitos: Dalam banyak legenda di Papua dan Maluku (seperti di Seram), pohon sagu diyakini sebagai penjelmaan manusia atau anugerah langsung dari dewa. Ada mitos tentang seorang gadis yang mengorbankan diri dan dari jasadnya tumbuhlah pohon sagu pertama, yang setiap bagiannya berguna bagi manusia.

  • Filosofi: Karena mitos ini, pohon sagu diperlakukan dengan penuh hormat. Menebang sagu (prosesi tokok sagu) adalah sebuah ritual, bukan sekadar pekerjaan. Mereka meminta izin kepada roh penunggu hutan sebelum mengambil “tubuh” dari sang dewa untuk diolah menjadi makanan.

Bab 2: Fakta – Hutan Adalah ‘Supermarket’ Abadi

Papeda lahir dari peradaban yang hidup harmonis dengan alam, bukan menguasainya.

  • Fakta Agronomi: Pohon sagu adalah tanaman karbohidrat paling efisien di dunia. Ia tidak perlu ditanam, dipupuk, atau dirawat seperti padi. Ia tumbuh liar di rawa-rawa.

  • Fakta Panen: Satu pohon sagu yang matang (berusia 10-15 tahun) bisa menghasilkan 150 hingga 300 kilogram pati sagu kering. Ini cukup untuk memberi makan satu keluarga besar selama berbulan-bulan.

Inilah filosofi hidup masyarakat Timur: Hutan adalah “Ibu” atau “Supermarket” mereka. Mereka tidak perlu bertani (seperti di Jawa), mereka hanya perlu meramu dan memanen apa yang sudah disediakan alam. Papeda adalah wujud paling murni dari filosofi “cukup” ini.

Bab 3: Jejak Kerajaan – Makanan Para Sultan Rempah

Meskipun terkesan purba, Papeda adalah makanan kerajaan. Di Maluku Utara, di istana Kesultanan Ternate dan Tidore—dua kerajaan terkaya di dunia pada abad ke-16 berkat cengkeh—makanan pokok para Sultan dan bangsawan bukanlah nasi, melainkan Papeda.

  • Fakta: Para penjelajah Eropa (Portugis, Spanyol, Belanda) yang datang ke Ternate untuk membeli cengkeh, mencatat dalam jurnal mereka tentang hidangan “lem aneh” yang disajikan di istana raja.

  • Filosofi Tawar: Papeda sengaja dibuat tawar. Kenapa? Karena ia adalah “kanvas” yang sempurna untuk “lukisan” yang kaya rasa. Sebagai kerajaan maritim, Ternate memiliki hasil laut terbaik. Papeda yang tawar menjadi penyeimbang sempurna untuk hidangan pendampingnya yang legendaris: Ikan Kuah Kuning. Rasa asam (dari lemon cui/jeruk nipis), pedas (dari cabai), dan gurih (dari ikan segar dan kunyit) akan “meledak” di mulut ketika bertemu dengan Papeda yang netral.

Bab 4: Filosofi ‘Lem’ – Perekat Tali Persaudaraan

Inilah filosofi Papeda yang paling dalam, yang tercermin dari tekstur dan cara makannya.

  1. Tekstur Lengket = Persaudaraan: Tekstur Papeda yang lengket seperti lem, yang sulit dipisahkan, adalah simbol dari tali persaudaraan yang erat. Ia adalah perekat sosial.

  2. Makan Bersama (Fakta Ritual): Papeda tidak pernah disajikan per piring individu. Ia selalu disajikan dalam satu wadah besar yang terbuat dari gerabah (disebut sempe atau helai). Semua orang, dari yang tua hingga yang muda, akan mengambil dari “rahim” yang sama. Ini adalah simbol kebersamaan, kesetaraan, dan persatuan.

  3. Cara Makan (Gata-Gata): Papeda tidak dimakan dengan sendok. Ia diambil menggunakan dua sumpit bambu khusus (disebut gata-gata atau hela). Papeda digulung-gulung pada sumpit itu, lalu diletakkan di piring yang sudah berisi kuah, dan langsung diseruput (ditelan), bukan dikunyah. Ini melambangkan proses hidup yang harus dijalani dengan lancar, tanpa perlu “mengunyah” atau mempermasalahkan hal-hal kecil.

Penutup: Pusaka dari Sang Ibu

Kisah Papeda adalah kisah tentang rasa syukur. Ia adalah pusaka kuliner paling purba di Nusantara, sebuah warisan dari masa ketika manusia masih hidup dalam harmoni total dengan alam.

Saat menyantap Papeda, kita tidak sedang makan “makanan aneh”. Kita sedang merasakan filosofi kebersamaan yang paling murni, mencicipi anugerah langsung dari “Ibu” (hutan), seperti yang telah dilakukan para leluhur dan raja-raja Maluku selama ribuan tahun.