Di antara semua hidangan yang tersaji di hari Lebaran, tidak ada yang lebih ikonik selain Ketupat. Ia adalah pusat dari meja makan, ditunggu kehadirannya untuk bersanding dengan opor, rendang, dan sambal goreng.

Namun, Ketupat lebih dari sekadar nasi. Ia adalah sebuah pusaka, sebuah “teks” yang bisa dibaca, dan sebuah simbol yang menceritakan perjalanan spiritual bangsa ini. Kisahnya dimulai jauh sebelum Islam masuk ke Nusantara.

Bab 1: Mitos Kuno dan Makanan Para Dewi

Jauh sebelum era Wali Songo, masyarakat agraris di Jawa dan Nusantara telah memiliki tradisi membuat sesajen dari beras yang dibungkus anyaman daun. Mitosnya, ini adalah persembahan untuk Dewi Sri, Sang Dewi Padi, sebagai wujud syukur atas panen yang melimpah.

Mereka juga percaya bahwa anyaman daun kelapa (janur) memiliki kekuatan magis. Di beberapa daerah, ketupat (atau bentuk awalnya) digantung di pintu rumah atau di lumbung padi sebagai tolak bala (penangkal sial), mengusir roh jahat dan mengundang kemakmuran. Ini adalah akar spiritual pertama Ketupat: sebuah simbol syukur dan perlindungan.

Bab 2: Strategi Brilian Sang Wali dan Makanan Kerajaan

Kisah Ketupat mengalami babak baru yang paling krusial ketika Islam mulai menyebar di tanah Jawa. Konon, Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo, adalah arsitek utama di balik transformasi Ketupat.

Sunan Kalijaga dikenal jenius. Ia tidak memberangus tradisi lama. Sebaliknya, ia “mengisinya” dengan makna baru yang selaras dengan ajaran Islam. Ia melihat masyarakat Jawa sudah akrab dengan Ketupat sebagai bagian dari ritual.

Fakta: Sunan Kalijaga memperkenalkan tradisi Bakda Kupat (Lebaran Ketupat), yang dirayakan seminggu setelah Idul Fitri (setelah puasa Syawal). Ini adalah strategi akulturasi budaya yang cemerlang.

Tradisi ini kemudian diadopsi oleh kerajaan-kerajaan Islam, seperti Kesultanan Mataram. Ketupat menjadi hidangan penting dalam slametan (syukuran) kerajaan. Ia berevolusi dari sesajen Dewi Sri menjadi hidangan agung yang melambangkan penyucian diri di hari kemenangan, dinikmati oleh para Sultan dan rakyatnya.

Bab 3: Filosofi ‘Kode Rahasia’ di Balik Anyaman

Inilah bagian terpenting: Sunan Kalijaga menyisipkan “kode rahasia” filosofis dalam Ketupat, menjadikannya media dakwah yang luar biasa.

  1. “Kupat” = Ngaku Lepat (Mengakui Kesalahan) Dalam filosofi Jawa, “Kupat” adalah jarwo dhosok (akronim) dari ‘Ngaku Lepat’. Artinya: “Mengakui Kesalahan.” Lebaran adalah momen untuk silaturahmi, meminta maaf. Dengan memakan Ketupat, seseorang secara simbolis mengakui kesalahannya.

  2. Anyaman yang Rumit = Kerumitan Dosa Manusia Bentuk anyaman janur yang rumit dan saling bersilangan melambangkan keruwetan dan banyaknya dosa serta kesalahan yang diperbuat manusia.

  3. “Janur” = Jatining Nur (Cahaya Sejati) Janur (daun kelapa muda) sendiri diartikan sebagai ‘Jatining Nur’ atau “Cahaya Sejati”. Ini melambangkan pencerahan, atau hati yang telah tercerahkan oleh cahaya Ilahi setelah berpuasa.

  4. Isi Nasi Putih = Kesucian Hati Ketika anyaman rumit (dosa) itu dibelah, tampaklah isi nasi yang putih bersih. Ini adalah simbol dari kesucian hati atau fitrah. Setelah sebulan “direbus” dalam kawah Ramadhan dan diakhiri dengan ngaku lepat (saling memaafkan), hati manusia kembali bersih laksana nasi putih itu.

Bab 4: Makanan Favorit Kolektif (Dan Fakta Praktisnya)

Jika Nasi Uduk adalah favorit individu atau komunitas, Ketupat adalah makanan favorit “kolektif” bangsa. Ia adalah makanan yang menyatukan. Ia tidak dinikmati sendirian; ia adalah hidangan komunal yang disantap bersama keluarga besar, tetangga, dan tamu.

Ada fakta praktis yang menarik mengapa Ketupat begitu populer:

  • Fakta Keawetan: Proses perebusan Ketupat yang memakan waktu 4 hingga 8 jam, ditambah dengan anyaman janur yang rapat, membuat nasi menjadi padat dan sangat awet. Di masa lalu, ini sangat penting untuk hidangan hari raya yang harus bertahan 2-3 hari untuk menjamu tamu yang terus berdatangan.

  • Fakta Aroma: Janur memberikan aroma khas yang subtil pada nasi, yang tidak bisa didapat dari pembungkus lain (seperti plastik atau bahkan daun pisang pada lontong).

  • Fakta Regional: Ketupat (atau variasinya) bukan hanya milik Indonesia. Ia adalah warisan bersama Asia Tenggara Maritim. Di Malaysia dan Singapura, ia disebut Ketupat, dan di Filipina, ia dikenal sebagai Pusô (dibaca: Puso), yang juga menjadi makanan pokok yang dijual di jalanan.

Penutup: Dari Dewi Sri Menjadi Simbol Fitri

Kisah Ketupat adalah evolusi sempurna. Ia bermula sebagai persembahan mitologis untuk Dewi Sri, diangkat menjadi hidangan ritual di kerajaan, “dibaptis” ulang oleh Sunan Kalijaga dengan filosofi pengakuan dosa, dan akhirnya menjadi simbol abadi dari hati yang suci dan persaudaraan di hari Idul Fitri.