Di jantung tanah Jawa, ada sebuah hidangan yang dimasak bukan dengan api biasa, tapi dengan api kesabaran. Hidangan itu adalah Gudeg. Warnanya coklat gelap, rasanya manis legit, dan teksturnya begitu lembut hingga nyaris tak perlu dikunyah.
Lebih dari sekadar makanan, Gudeg adalah sebuah filosofi yang terbungkus dalam santan; sebuah monumen sejarah berdirinya sebuah kerajaan.
Bab 1: Mitos Kelahiran – Makanan ‘Babah Alas’ Mataram
Kisah Gudeg adalah kisah kelahiran sebuah kota: Yogyakarta.
Mitosnya dimulai sekitar tahun 1755, setelah Perjanjian Giyanti. Pangeran Mangkubumi (yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwono I) mendapat bagian kerajaan dan memilih sebuah hutan angker bernama Alas Mentaok untuk membangun istana barunya.
Ribuan pekerja dikerahkan untuk membabat alas (membuka hutan). Mereka butuh makan.
-
Fakta: Hutan Mentaok (dan wilayah Yogyakarta) secara alami dipenuhi dua pohon: pohon Nangka (Jackfruit) dan pohon Kelapa.
-
Masalah: Bagaimana memberi makan ribuan orang dengan bahan baku yang melimpah tapi “mentah” ini?
-
Solusi Jenius: Para pekerja mengambil nangka muda (disebut gori), mencacahnya, dan merebusnya dalam kuali-kuali raksasa (disebut kencah) dengan santan kelapa dan gula aren yang juga melimpah.
Proses memasak massal ini butuh pengadukan konstan. Dalam bahasa Jawa, proses mengaduk terus menerus ini disebut hangudek. Dari kata hangudek inilah, menurut mitos, nama “Gudeg” lahir. Ia adalah makanan yang lahir dari keringat para pembangun kerajaan.
Bab 2: Makanan Kerajaan yang Menyentuh Filosofi
Dari dapur darurat para pekerja, resep ini “naik tahta” dan masuk ke dapur Kraton Yogyakarta. Di tangan para abdi dalem (pelayan istana), resep ini disempurnakan.
Di sinilah Gudeg bukan lagi sekadar pengisi perut, tapi menjadi cerminan filosofi Jawa ala Yogyakarta:
-
Filosofi Manis (Legi): Rasa manis yang dominan bukanlah sekadar soal selera. Ini melambangkan legining urip (manisnya hidup), sebuah pandangan hidup yang sumeleh (pasrah), tenang, dan menghindari konflik. Ini adalah karakter alus (halus/berbudaya) dari Kraton Yogyakarta.
-
Filosofi Sabar (Sabar): Gudeg adalah antitesis dari fast food. Proses memasaknya memakan waktu minimal 6 jam, bahkan bisa semalaman (12-24 jam). Ini mengajarkan nilai kesabaran, ketelatenan (ketekunan), dan ojo kesusu (jangan terburu-buru). Hasil yang sempurna hanya bisa didapat melalui proses yang panjang.
-
Filosofi Warna: Warna coklat gelap Gudeg didapat dari dua hal: karamelisasi gula aren dan (yang terpenting) daun jati (daun pohon jati). Daun jati adalah simbol membumi dan kekuatan yang sederhana.
Bab 3: Fakta Dua Wajah Gudeg (Si Basah dan Si Kering)
Gudeg memiliki dua evolusi yang berbeda, yang lahir dari kebutuhan yang berbeda pula:
-
Gudeg Basah (Gudeg Basah/Manggar): Ini adalah bentuk aslinya, yang paling dicintai di dalam Jogja. Ia dimasak hingga kuah santannya kental (seperti areh). Rasanya lebih gurih, creamy, dan kaya. Namun, ia tidak tahan lama (harus habis hari itu juga).
-
Gudeg Kering (Gudeg Kering): Ini adalah evolusi brilian yang lahir dari status Jogja sebagai Kota Pelajar dan Kota Perjuangan. Para pelajar, mahasiswa, dan tentara yang hendak pulang atau merantau butuh oleh-oleh yang tahan lama.
Maka, Gudeg dimasak lebih lama lagi, sampai kuahnya menguap, areh-nya mengering, dan nangkanya menjadi legit dan awet (mirip proses Rendang). Gudeg Kering inilah yang kemudian dikemas dalam kendil (periuk tanah liat) atau kaleng, menjadi pusaka kuliner yang bisa dibawa bepergian.
Bab 4: Makanan Favorit Siapa? Jiwa Sebuah Kota
-
Favorit Para Sultan: Sejak Sultan Hamengkubuwono I, Gudeg menjadi hidangan penting di Kraton, disajikan dalam acara-acara khusus.
-
Favorit Para Pelajar (dan Perantau): Gudeg Kering dalam kendil adalah “obat kangen” Jogja yang paling populer.
-
Favorit Rakyat Yogyakarta: Gudeg adalah signature dish (makanan khas) yang menjadi identitas. Sentra Gudeg seperti Wijilan dan Barek menjadi legenda. Ia adalah makanan demokratis; dinikmati Sultan di istana, mahasiswa di kos, dan masyarakat di angkringan.
Penutup: Monumen yang Bisa Dimakan
Kisah Gudeg adalah kisah tentang Yogyakarta itu sendiri. Ia lahir dari hutan, dibesarkan di istana, dan menjadi jiwa bagi rakyatnya. Ia adalah bukti bahwa dari bahan yang paling sederhana (nangka muda) dan proses yang paling panjang (dimasak semalaman), bisa tercipta sebuah mahakarya yang manis, filosofis, dan abadi.