Jika Ketupat adalah “Raja” yang muncul setahun sekali saat Lebaran dengan segala filosofi agungnya, Lontong adalah “Punggawa” setia yang hadir setiap hari. Ia adalah kanvas putih bagi ratusan hidangan Nusantara, dari Sabang sampai Merauke.
Namun, kesederhanaannya menipu. Di balik gulungan daun pisangnya, Lontong menyimpan kisah tentang perjalanan, kerendahan hati, dan evolusi kuliner yang brilian.
Bab 1: Mitos Asal-Usul – Makanan Para Pengembara
Tidak ada catatan pasti kapan Lontong pertama kali dibuat, karena ia lahir dari kebutuhan praktis, bukan ritual agung.
Sejarahnya adalah sejarah perjalanan. Jauh sebelum era modern, masyarakat Nusantara adalah pelaut, pedagang, dan pengembara. Mereka butuh bekal (perbekalan) yang tahan lama, ringkas, dan mudah dibawa.
Di sinilah Lontong lahir.
-
Fakta Praktis: Membungkus nasi dengan daun pisang lalu merebusnya berjam-jam (mirip Ketupat) menghasilkan nasi yang padat dan awet. Ia bisa bertahan 2-3 hari tanpa basi.
-
Fakta Ergonomis: Bentuknya yang silinder (lonjong) membuatnya mudah dipegang, mudah dipotong, dan mudah dikemas.
-
Mitos “Daun Ajaib”: Daun pisang bukan sekadar pembungkus. Ia adalah “piring sekali pakai” yang alami. Setelah Lontong dimakan, pembungkusnya bisa langsung dibuang dan kembali ke tanah. Inilah mengapa ia menjadi makanan favorit para pengembara, prajurit di medan perang, dan petani yang bekerja seharian di sawah.
Bab 2: Filosofi ‘Si Lonjong’ dan Kerendahan Hati
Jika Ketupat punya filosofi rumit (ngaku lepat, jatining nur), Lontong punya filosofi yang lebih membumi, yang tercermin dari bentuk dan pembungkusnya.
-
Filosofi Bentuk (Lonjong/Silinder): Dalam budaya Jawa, bentuk lonjong ini sering dimaknai sebagai harapan akan ‘umure dowo’ (umurnya panjang) atau ‘dowo ususe’ (ususnya panjang). “Usus panjang” adalah kiasan untuk kesabaran yang tak terhingga. Lontong adalah simbol kesabaran dan harapan akan umur panjang.
-
Filosofi Daun Pisang (Kerakyatan): Ini adalah perbedaan terbesarnya dengan Ketupat. Ketupat memakai janur (daun kelapa muda), yang harus dipanjat tinggi-tinggi untuk diambil. Janur melambangkan sesuatu yang luhur, “cahaya” (nur). Lontong memakai daun pisang. Pohon pisang adalah lambang kerakyatan sejati. Ia tumbuh di mana saja, mudah didapat, dan setiap bagiannya berguna—dari buah, jantung, batang, hingga daunnya. Lontong yang dibungkus daun pisang adalah simbol dari kerendahan hati, kesederhanaan, dan kemampuan beradaptasi.
Bab 3: Makanan Rakyat yang ‘Naik Tahta’
Awalnya, Lontong adalah makanan fungsional. Ia dimakan begitu saja dengan sedikit garam atau lauk kering. Namun, ia tidak lama bertahan sebagai makanan jelata.
Kecerdasan kuliner Nusantara melihat potensi dalam “kanvas putih” ini. Lontong pun berevolusi.
-
Fakta (Kimiawi): Proses perebusan yang lama dengan daun pisang tidak hanya memadatkan nasi. Klorofil dari daun luruh dan memberikan aroma smoky (sangit) yang khas dan warna hijau pucat yang cantik di lapisan luar nasi. Aroma inilah yang membuat Lontong “kawin” sempurna dengan kuah santan.
Di sinilah Lontong menjadi “makanan favorit” untuk hidangan-hidangan legendaris:
-
Favorit Komunitas Peranakan (Lontong Cap Go Meh): Ini adalah puncak akulturasi. Lontong (elemen Jawa/Nusantara) bertemu dengan kuah opor, sambal goreng, bubuk kedelai, dan bahkan kadang pindang telur (elemen Tionghoa). Lontong menjadi simbol pembauran yang dirayakan 15 hari setelah Imlek.
-
Favorit ‘Arek Suroboyo’ (Lontong Balap): Dinamakan “Balap” karena konon penjualnya dulu memikul dagangan mereka sambil berlari-lari (balapan) mengejar keramaian. Ini adalah makanan kaum pekerja yang butuh sarapan cepat, murah, dan mengenyangkan. Lontong di sini adalah pahlawan kaum urban.
-
Favorit Sarapan Nusantara (Lontong Sayur/Kari): Dari Lontong Sayur Betawi dengan kuah ebi-nya, hingga Lontong Kari Bandung yang kental, Lontong adalah fondasi sarapan di berbagai daerah.
Kesimpulan: Perbedaan Sakral dan Profan
Kisah Lontong adalah kisah tentang evolusi dari yang profan (duniawi/sehari-hari) menjadi sesuatu yang istimewa.
-
Ketupat lahir dari ritual (Dewi Sri, Wali Songo) dan bersifat sakral. Ia adalah simbol spiritual.
-
Lontong lahir dari fungsionalitas (bekal perjalanan) dan bersifat profan. Ia adalah simbol kepraktisan.
Namun, dalam perjalanannya, Lontong membuktikan bahwa sesuatu yang sederhana dan merakyat, ketika disentuh dengan kreativitas, bisa menjadi fondasi bagi mahakarya kuliner yang paling agung dan dicintai.