Di setiap sudut Jakarta, pagi hari memiliki aroma yang khas. Itu bukan wangi embun atau knalpot, melainkan wangi gurih santan, serai, dan daun salam yang menguap dari dandang-dandang nasi. Itu adalah aroma Nasi Uduk, sebuah hidangan yang begitu merakyat hingga kita lupa bahwa ia menyimpan kisah tentang raja, doa, dan kerasnya perjuangan hidup.

Kisah ini memiliki banyak bab. Bab pertama adalah tentang namanya: “Uduk”.

Mitos Nama: Perjuangan atau Campuran?

Ada dua filosofi yang dipercaya melatarbelakangi nama “Uduk”.

Yang pertama adalah tafsir spiritual. Dalam tradisi Jawa-Betawi, “Uduk” sering dikaitkan dengan kata “aduk” atau “campur”, yang melambangkan bahwa hidup ini adalah campuran dari berbagai elemen. Namun, ada juga yang mengaitkannya dengan bahasa Sunda (mengingat kedekatan geografis), yang bisa berarti “susah” atau “payah”.

Filosofi “susah” ini melahirkan sebuah mitos budaya: Nasi Uduk adalah makanan yang disajikan saat ada selametan atau kenduri. Ia menjadi bagian dari doa dan ritual. Nasi gurih ini disajikan sebagai persembahan syukur, dengan harapan agar dijauhkan dari “susah” (kesulitan) dan diberi kelancaran rezeki. Di sinilah Nasi Uduk berperan bukan sekadar sebagai makanan, tapi sebagai medium spiritual.

Jejak Sejarah: Makanan Favorit Para Raja (yang Berevolusi)

Jauh sebelum dikenal di jalanan Batavia, konsep “nasi gurih” (nasi yang dimasak dengan santan dan rempah) adalah hidangan istimewa di tanah Jawa.

Kisah sejarahnya sering ditarik mundur ke era Kesultanan Mataram, khususnya pada masa Sultan Agung (1613-1645). Sang Sultan dikenal gemar menyantap nasi gurih atau sega wuduk (dalam bahasa Jawa), yang mirip dengan Nasi Liwet Solo. Ini adalah hidangan bangsawan, disajikan dalam upacara-upacara penting kerajaan.

Lalu, bagaimana makanan raja ini bisa sampai ke Batavia dan menjadi makanan rakyat?

Jawabannya terletak pada dua arus besar:

  1. Arus Perang dan Migrasi (Jawa): Ketika Mataram berusaha menyerang Batavia (VOC) pada abad ke-17, terjadi pergerakan besar-besaran prajurit dan penduduk dari Jawa. Mereka membawa serta tradisi kuliner mereka, termasuk resep sega wuduk atau Nasi Liwet.
  2. Arus Perdagangan (Melayu): Di saat yang sama, Batavia adalah pelabuhan internasional. Para pedagang dari tanah Melayu (Sumatera dan Semenanjung Malaya) hilir mudik. Mereka membawa tradisi kuliner mereka sendiri, yaitu Nasi Lemak—nasi yang juga dimasak dengan santan agar lebih awet dan memberi energi ekstra bagi para pelaut dan pedagang.

Lahirnya Sang Ikon di ‘Melting Pot’ Batavia

Di sinilah Nasi Uduk yang kita kenal sekarang lahir. Masyarakat Betawi, yang hidup tepat di titik pertemuan dua budaya besar (Jawa dan Melayu) itu, bertindak sebagai ‘Koki Sejarah’.

Mereka mengambil konsep “nasi gurih” dari Jawa (Nasi Liwet) dan tradisi “nasi santan” dari Melayu (Nasi Lemak). Di dapur-dapur Betawi, kedua resep ini di-“aduk”, diadaptasi, dan disempurnakan.

Orang Betawi menambahkan sentuhan khas mereka: serai dan daun salam yang lebih kuat aromanya, dan yang terpenting, lauk pendamping yang menjadikannya “Betawi”: semur jengkol, empal, dan sambal kacang yang pedas-gurih.

Makanan Favorit Siapa? Jawabannya: Makanan Favorit Rakyat

Jika leluhurnya (Nasi Liwet) adalah favorit para Sultan di istana yang tenang, Nasi Uduk menjadi “raja” di jalanan Batavia yang sibuk dan keras.

Ia menjadi makanan favorit para pekerja. Nasi Uduk adalah sarapan berenergi tinggi. Kandungan santan dan karbohidratnya memberikan tenaga yang cukup bagi kuli pelabuhan, pedagang pasar, dan pekerja kasar yang harus membanting tulang sejak matahari terbit.

Dari hidangan ritual untuk menolak “susah”, ia berevolusi menjadi bahan bakar perjuangan hidup sehari-hari.

Jadi, ketika Anda menyantap sepiring Nasi Uduk, Anda tidak sedang makan resep yang diciptakan satu orang. Anda sedang mencicipi jejak diplomasi Sultan Mataram, kegigihan pedagang Melayu, dan kreativitas masyarakat Betawi yang meramu semua sejarah itu menjadi satu hidangan ikonik yang mewakili denyut nadi Jakarta itu sendiri.